''MALAM PENEBUSAN DOSA'' DALAM SIWARATRIKALPA

MALAM Siwa (Siwaratri) merupakan salah satu hari yang sangat penting bagi masyarakat umat Hindu yang diperingati secara khusus dengan cara melakukan brata Siwaratri yang meliputi jagra (melek) selama 36 jam, mona (tidak berkata-kata), dan upawasa (tidak makan dan minum) selama 24 jam terus-menerus, persis seperti yang (tidak sengaja) dilakukan oleh Lubdhaka dalam kakawin Siwaratrikalpa (karya Mpo Tanakung). Dengan melakukan brata Siwaratri, sebagian umat Hindu meyakini bahwa ”dosa-dosa” yang dilakukannya dapat dihapuskan. Namun sebagian lagi memberikan penafsiran berbeda, karena konon dosa (karma) tidak pernah dapat dihapus.
——————————

Lubdhaka: Si Pendosa?

Dewa Siva

Dewa Siva

Interpretasi yang beragam terhadap kakawin Siwaratrikalpa antara lain berpusat pada interpretasi terhadap tokoh dan ketokohan Lubdhaka. Adanya kontroversi atau perbedaan penafsiran tersebut antara lain disebabkan oleh opini-opini luar teks yang lebih dikedepankan daripada fakta tekstualnya. Dari opini-opini yang berkembang antara lain dikatakan bahwa Lubdhaka hanyalah sebuah simbol belaka. Lubdhaka yang berarti ”pemburu” adalah simbol dari manusia pada umumnya, yang juga adalah ”pemburu”. Sedangkan binatang-binatang yang diburu tidak lain adalah simbolisasi dari nafsu ”kebinatangan” yang ada pada diri kita (manusia) yang memang harus diburu habis.

Pendaftaran seperti itu, memunculkan pembelaan yang apriori terhadap tokoh Lubdhaka. Dengan penafsiran simbolik seperti itu, Lubdhaka secara sedemikian rupa ditempatkan sebagai pemuja Siwa yang luhur. Bahwa kejahatan dan pembunuhan yang dilakukan sepanjang hidupnya, tidak dianggap sebagai perbuatan jahat atau dosa. Lubdhaka tidak dipandang sebagai seorang pembunuh dalam pengertian yang sebenarnya. Meskipun secara tekstual jelas-jelas dikatakan bahwa Lubdhaka adalah seorang pemburu yang senantiasa memburu dan membunuh binatang buruannya sambaddhanya hanang nisada winuwus khayating haran Lubdhaka// … Sangkan-sangkan alit taman hanang ulah dharmariya mwang yasa/ anghing lot maburu gawaynya mamating mong wek gaja mwang warak/ salwir ning mrga kapwa sirna rinarahnyan tan bisapet hurip… (Wirama 2.1–2.2: Sardulawikridita).

Dalam bait-bait selanjutnya dijelaskan bahwa tokoh Lubdhaka …satata turung mapunya yasa dharma len brata katinya kasmala dahat.. (sesungguhnya ia tidak pernah berbuat punya, yasa dan dharma serta brata, perbuatannya sangat cemar (Wirama 5.6: Aswalalita). Selama hidupnya dia tidak pernah berbuat dharma, dan karena perbuatannya itulah dia menderita sakit yang parah. Karena perbuatannya yang tak pernah berlandaskan dharma, sudah dipastikan arwahnya akan dikirim ke alam neraka: yataya yan kambila ring Yamalaya (Wirama 11.2: Sucyandewi).
Ketika bertanya pada Siwa, para Gana dengan jelas mengatakan bahwa Lubdhaka adalah orang durhaka (Wirama 11.8: Sucyandewi). Dengan jelas dikatakan bahwa selama hidupnya Lubdhaka selalu membunuh binatang, dan tak pernah melakukan tapa brata (Wirama 11.9: Sucyandewi). Dengan alasan itu pula Kingkarabala mengikat roh Lubdhaka di neraka (Wirama 11.10: Sucyandewi).

Batara Yama, penguasa alam neraka, memerintahkan para Kingkara untuk mengambil roh Lubdhaka karena perbuatan Lubdhaka yang selalu jahat (Wirama 14.4: Aswalalita).
Dalam pandangan Batara Yama (Batara Dharma), Lubdhaka adalah orang yang jahat. Ungkapan Lubdhaka sebagai (roh) orang yang jahat ditemukan di dalam banyak bait kakawin Siwaratrikalpa: palanya dusta satata (Wirama 14.4: Aswlalita); pamigraha rikang nisada kalusa (Wirama 14.5: Aswalalita); hina dina cemar dan jahat: ai kong Lubdhaka kasmaladhama dahat lampun gawemwahala (Wirama 15.5: Sardulawikridita); rigatimu dusta kewala (Wirama 18.1: Kusuma wilasita).

Menurut catatan para Kingkara, Lubdhaka tidak pernah melakukan perbuatan baik/apan ngwang wihikan gatinya satata norang gawenyahajong/…// (Wirama 19.4: Sardulawikridita). Karena perbuatan jahatnya itulah yang membuatnya harus menerima hukuman siksa di Yamapada (neraka): /bykatekin phala ning gawenya mahalaweh duhka tan pantara// (/inilah pahala dari perbuatannya yang jahat dan siksalah ia selalu.//).

Yang menarik adalah, Lubdhaka sendiri tidak paham betul akan perbuatan jahatnya, sebagaimana dikatakannya: we ning rakwa kaduskrtangku ling irangumanuman i sarira ni nghulun// (Wirama 16.1 Ragakusuma).

Ungkapan tentang Lubdhaka sebagai orang yang jahat dinyatakan dengan sangat jelas di dalam teks kakawin Siwaratrikalpa. Memang tidak ditemukan adanya penggunaan kata dosa (sin), selain kata dusta, duskrta (kaduskrtang), ahala, kalusa, ghataka. Namun apakah perbuatan jahat tidak dapat dikatakan suatu dosa?

Anugerah Siwa

Terkait dengan persoalan di atas, hampir semua peristiwa penting yang dialami oleh Lubdhaka pada saat panglong kaping patwelas terjadi secara kebetulan. Barangkali ini merupakan salah satu ciri karya yang bersifat didaktik.

Kebetulan pertama terjadi berkenaan dengan hari keberangkatan Lubdhaka melakukan perburuan. Kebetulan kedua adalah, ketika melakukan perburuan, Lubdhaka sama sekali tidak menemukan binatang buruannya, padahal dia berburu di hutan yang dikenalinya sebagai tempat berkumpulnya binatang buruan. Perburuan kali ini tidak seperti hari-hari sebelumnya. Kebetulan ketiga, ketika terpaksa harus bermalam di hutan, tanpa sengaja ia naik ke atas pohon bilwa. Untuk menghilangkan rasa kantuknya serta terdorong oleh rasa ketakutan, ia memetik daun bilwa tersebut serta dijatuhkannya ke atas danau. Lagi-lagi, secara kebetulan daun-daun yang dipetiknya itu jatuh di atas sebuah Lingga (Siwalingga) yang tidak dibuat oleh manusia (nora ginawe) yang kebetulan ada di tengah danau tersebut. Konon, jumlah daun maja yang dipetiknya hingga fajar berjumlah 108 lembar, suatu jumlah yang keramat (lagi-lagi sebuah kebetulan).

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa Lubdhaka secara kebetulan melaksanakan brata Siwaratri. Meskipun brata Siwaratri itu dilakukannya dengan tidak sengaja, atau secara kebetulan, mengapa semua peristiwa penting yang menjadi alasan Siwa memberi anugerah pada Lubdhaka terjadi secara kebetulan? Dapatkah atau pantaskah sesuatu yang dilakukan secara kebetulan saja menerima pahala yang demikian besar, berupa pengampunan dosa?

Apa pun, semua itu tidak mengurangi keinginan Siwa untuk memberikan anugerah kepada Lubdhaka, meskipun dalam sepanjang hidupnya Lubdhaka dipenuhi oleh perbuatan jahat, membunuh binatang tanpa dosa, dan tidak pernah melaksanakan brata. Rupanya malam Siwa sungguh-sungguh merupakan malam yang istimewa, dan tidak ada seorang pun yang memperoleh keberuntungan, suatu anugerah yang demikian besar selain Lubdhaka.

Dewa Siwa

Dewa Siwa

Anugerah yang diberikan Siwa kepada Lubdhaka bukanlah tanpa alasan. Selain sebagai perwujudan penguasa alam semesta, yang memiliki kekuasaan yang besar, Siwa tentunya bisa membebaskan seseorang yang sangat jahat sekalipun. Tetapi alasan pembebasan yang diberikan kepada Lubdhaka memang sangat istimewa, yaitu berkenaan dengan suatu ketentuan yang ditetapkan oleh Siwa sendiri tentang brata Siwaratri. Karena begitu lamanya ajaran itu disampaikan, sehingga banyak yang lupa, termasuk Siwa sendiri. Namun secara kebetulan Lubdhaka-lah yang secara tidak sengaja melakukan brata Siwaratri yang sangat utama itu. Lagi pula hanya si Lubdhaka-lah yang sudah melaksanakan brata Siwaratri itu untuk pertama kalinya. Oleh sebab itu, apa pun bentuk kejahatan yang dilakukannya, sudah dilebur oleh pelaksanaan brata Siwaratri itu sendiri.

Sampai di sini kita tentu akan ”terkesima” melihat kenyataan sebagaimana terurai pada kutipan di atas. Sikap Siwa sebagaimana tergambar dalam kutipan di atas bukannya tidak ada yang mempersoalkan. Batara Yama beserta para Kingkara memprotes kebijakan Siwa. Bahkan, mereka mengancam untuk mengundurkan diri sebagai pejabat di Nerakaloka (Yamapada). Pertanyaan selanjutnya yang terus menggoda adalah: benarkah demikian adanya? Apakah ini persoalan estetik semata?

Sayangnya Lubdhaka tidak mungkin ditanyai dan tidak mungkin kembali lagi ke dunia ini. Kalaupun Lubdhaka akan mengatakan yang sebenarnya, seandainya dia menjelma ke dunia, kita pun mungkin tidak percaya dan meragukannya, karena Lubdhaka adalah orang yang sepanjang hidupnya membunuh binatang buruannya.

Apakah kita juga tidak percaya akan adanya kekuatan anugerah Tuhan? Maka kontroversi pun tak bisa dihindari.

Penulis, dosen Fakultas Sastra Universitas

sumber: BaliPost

SIWARATRI MEMBANGUN KESADARAN DIRI

Sabtu,tanggal 24 Januari 2009 ini umat Hindu di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya merayakan hari raya keagamaan yang disebut hari Siwaratri atau sering juga disebut Siwalatri. Hari raya Siwaratri ini untuk mengingatkan umat Hindu agar selalu meningkatkan kesadaran rohaninya dalam menghadapi dinamika kehidupan yang penuh dengan gejolak. Upawasa, jagra dan mona adalah suatu metode yang diajarkan oleh ajaran Siwaratri untuk membangun kesadaran diri. Orang yang memiliki kesadaran diri itulah yang akan dapat mengurangi bahkan menghindar dari perbuatan dosa, meskipun tahap demi tahap. Upawasa untuk melatih nafsu untuk tidak rakus. Jagra maksudnya agar setiap langkah dalam berperilaku didasarkan pada kesadaran budhi. Kesadaran budhi itulah yang akan berperan memberikan berbagai pertimbangan sebelum melangkah dalam berperilaku. Sedangkan mona bertujuan untuk melatih lidah tidak berbicara sembarangan. Sarasamuscaya mengajarkan hendaknya diusahakan agar dari lidah itu tidak keluar empat jenis kata-kata. Empat jenis ucapan yang tidak boleh keluar dari lidah adalah ujar ahala, ujar pisuna, ujar mitya dan ujar apergas. Artinya ucapan yang harus dihindari adalah ucapan yang mengandung maksud jahat, fitnah, bohong dan kasar. Hal itulah yang dilatih dengan mona. Hari raya Siwaratri bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa melakukan upawasa, jagra, dan mona sebagai kegiatan untuk membangun kesadaran diri. Manusia sering digelapkan hatinya oleh hawa nafsunya yang bergelora. Kemajuan duniawi tanpa diimbangi oleh kemajuan rohani sering membawa manusia lupa akan hakikat jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling utama penghuni bumi ini. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian, kekuatan fisik atau juga kesaktian, kebangsawanan yang diperoleh sering menjadikan manusia kehilangan kesadaran dirinya yang sejati. Namun, manusia akan disebut manusia utama kalau kekayaan, kekuasaan, kepandaian, kebangsawanan, kesaktian dan kekuatannya itu dilandasi oleh rohani yang tinggi. Manusia memiliki kelebihan kalau dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia mampu mengubah berbagai kekurangan maupun kesalahannya kalau ia mau mendayagunakan agama dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena itu, manusia jahat sekalipun, kalau ia mampu membangkitkan kesadaran dirinya akan dapat mengubah sifat jahatnya menjadi manusia baik dan suci. Siwaratri artinya malam Siwa. Umat Hindu diingatkan untuk mengembangkan kesadaran dirinya. Hakikat ajaran Siwaratri adalah untuk mengingatkan manusia agar selalu percaya pada Tuhan (Siwa). Manusia akan selalu dapat menghalau kegelapan hatinya dengan cara selalu percaya dan takwa pada Tuhan (Siwa). Perayaan Siwaratri ini untuk mengingatkan umat untuk lebih menekankan pada cara beragama ke dalam diri. Beragama Hindu penekanannya ada dua arah yaitu Prawrti Marga, beragama keluar diri seperti mengutamakan pelayanan dan pengabdian pada alam dan sesama manusia sebagai wujud bakti pada Tuhan. Sedangkan Niwrti Marga adalah beragama yang lebih menekankan pada cara penghayatan diri demi perbaikan ke dalam diri sendiri. Kedua jalan ini sama-sama penting untuk diseimbangkan pelaksanaannya. Tidak mungkin kita melakukan pelayanan pada alam dan sesama kalau dalam diri kita masih rapuh. Diri yang kuat lahir batin akan termotivasi untuk mengabdi pada sesama dan alam. Karena dalam keadaan alam yang lestari dan kehidupan bersama yang solid kita bisa hidup dengan aman, damai dan sejahtera. Semoga hari raya Siwaratri ini menjadi tonggak untuk meningkatkan kesadaran diri kita sebagai umat beragama terus semakin cerah dan terarah menuju kehidupan yang penuh anugerah.

Dewa Siva

Dewa Siva